Kategori: Pendidikan
Solihin, Bocah Usia 12 Tahun Merantau Demi Menjadi Ustadz
18 March 2022 - 15:31Hari
masih begitu muda untuk memulai aktifitas. Sebagian anak masih terlelap tidur
dalam dekapan orang tuanya tapi lain hal dengan Solihin. Meski suhu di Lereng
Gunung Merbabu kian menusuk ke tulang tapi Ia sudah terjaga lebih awal untuk
mendaras rangkaian ilmu pengetahuan di kamar asramanya. Ahmad Sauqy Solihin
adalah santri kelas 2 menengah pertama di Pesantren Masyarakat Merapi Merbabu
(PM3). Ia berjarak ribuan kilometer dari rumahnya untuk menyadur butiran hikmah
pengetahuan.
Pasca
lulus sekolah dasar, bocah yang berumur 12 tahun itu berangkat dari kampung
halamannya Baubau Sulawesi Tenggara. Pulau Buton salah satu pulau kecil yang
ada di Sulawesi menjadi tempat sebagai inkubator mentalnya dalam tanah
perantauan. Pada saat pertama meninggalkan pulau Buton ia tidak diantarkan
orang tuanya ke Yogyakarta karena berketepatan berstatus PDP terinveksi virus
Corona. Keseharian orang tua Solihin hanya menjual sendal dan menjaga Masjid.
Hari itu adalah hari yang sangat menyedihkan bagi orang tua Solihin melepaskan
anak sulungnya ke perantauan. Hanya dengan mengandalkan keluarga di Jawa
Solihin menemukan tempatnya dalam menimba ilmu.
Di
tahun pertamanya menjadi santri bukanlah hal yang mudah baginya. Proses
adaptasi yang ia alami begitu panjang. Sering diusilin oleh teman-temannya
membuatnya merasa tidak betah di pondok pesantren.
“awal saya masuk di sini (pondok) tuh
ga enak mas, sering diisengin temen-temen sampai pernah mau kabur dari pondok
tapi bingung mau kemana”
Solihin
terbilang santri yang aktif dan cekatan. Lebih dapat diandalkan mungkin karena
mentalitasnya yang sudah tertempa. Sering terlihat ia membaca buku yang
disampul kertas putih di pos jaga. Jika ditanya sebabnya kenapa maka dia
menjawab demikian.
“harus disampul mas biar ga dipinjem
orang, soalnya kalau sudah dipinjam biasanya gak pulang mas, lebih sakitnya
malah hilang atau rusak. Jadi saya sampul pakai kertas putih dikira orang
inikan buku tulis biasa jadi gak ada yang mau ambil”. Jelas Solihin sambil
terkekeh berhasil mengelabui teman-temannya.
Di
balik badannya yang kecil tersimpan kokoh tekad besar nan mulia dalam hatinya.
Ia berani memangkas masa kanak-kanaknya yang biasa digunakan bermain dan
berkumpul dengan keluarga demi akhir yang ia cita-citakan.
“Saya anak pertama mas harus jadi
contoh buat adik-adik saya. Ke-5 adik-adik saya harus saya bantu dalam mengejar
cita-cita seperti saya dibantu bapak sampai ketempat ini, mas. Saya juga ingin
jadi Ustadz di kampung halaman saya, saya mau ilmu yang saya dapatkan di PM3
bisa saya bagi untuk orang-orang di sana”. Ucap Solihin dengan mata yang
berkaca-kaca tampak jelas kerinduannya pada kampung halamannya yang begitu
jauh.
Solihin
tidak memiliki kesempatan pulang kampung yang banyak seperti teman-temannya.
Sebab jika menggunakan kapal perjalanan menuju kampung halamannya memakan waktu
4 hari. Sehingga dalam setahun ia hanya dapat melepas rindu pada libur lebaran
saja dan memohon keringanan pengurus pondok untuk diberi izin beberapa hari
terlambat masuk asrama.
“Ya mau gimana mas, Namanya juga belajar
ya wajar kalau ga enak mas. Tapi nanti saya mau bawa ilmu-ilmu ini ke kampung
saya. Jadi ga perlu anak-anak di sana harus pergi jauh dari orang tuanya lagi.
Sudah saya siapkan oleh-oleh ilmu untuk dibawakan kesana mas”